Happy Salma suka minum air parutan jahe plus madu dan telur ayam kampung. Kata Happy, itu bisa membuatnya hiperenergetik. ”Datang ke rumahku, nanti kubikinkan ramuan jamu super enak,” ujarnya.
Rupanya dari kecil, Happy terbiasa merebus aneka jamu, seperti bratawali dan sirih, untuk ibunya. lbunda Happy, Iis Rohaini (61), memang mempertahankan tradisi jamu. Mulai dari makan kunyit sebagai pendamping nasi hingga mengandalkan pengobatan pada air rebusan sirih ketika terserang kanker stadium dua. Akrab dengan jamu, Happy kini membuka Restoran Biku di Seminyak, Bali. Di sana, orang bisa menikmati minuman herbal, seperti wedang jahe, temu lawak, dan kunyit asam. “Peminatnya banyak. Mengandung antioksidan yang baik bagi rubuh,” katanya berpromosi.
Kembali ke herbal
Begitulah gaya hidup kembali ke alam menuntun orang untuk mengonsumsi minuman herbal, menggunakan obat herbal; termasuk jamu. Jamu diminum layaknya orang menikmati teh atau kopi. Tengok di Kota Solo, jamu disajikan di pesta ulang tahun di sebuah kafe.
Pulen, gadis yang berulang tahun ke-20 pada awal Juli lalu, mengajak tiga kawannya ke Reina Herbal Drink Cafe di Jalan Ronggowarsito, Solo, Jawa Tengah. Setelah memotong kue ulang tahun, salah seorang rekan perempuan Pulen menyeruput minuman herbal berupa Delima Putih yang dalam buku menu tertulis sebagai berkhasiat bagi perempuan.
Layaknya kafe-kafe, menu di Reina ditulis dengan kapur di atas papan tulis. Simak menunya, seperti Beras Kencur, Temu Lawak, Kunyit Asem, Pegal Linu, Sehat Lelaki, Sehat Perempuan, Galian Singset, Mustika Rapet, dan Benkwat.
Reina memajang toples berisi aneka herbal, seperti biji kedawung, biji botor, dan jintan hitam. “Agar orang tahu, oh ini to yang namanya temu lawak, jahe …,” kata Made Ayu Aryani, pemilik Reina.
“Saya suka semua hal yang bergaya vintage alias zadul. Jamu memenuhi kriteria vintage ini,” kata Pulen yang menjamu tiga kawannya.
Mereka sesekali tertawa cekikikan ketika bermain tebak-tebakan khasiat jamu. Jamu delima putih, misalnya, berkhasiat menyembuhkan keputihan. Rekan pria Pulen hampir saja mencicipi si delima putih akibat ulah usil teman-temannya.
Made Ayu Aryani dengan kafe herbalnya merespons tren kembali ke herbal yang marak belakangan ini. Ia lalu membuka Reina Herbal Drink Cafe pada April 2012. ”Jamu kebanyakan dikonsumsi orangtua, dan dipersepsikan sebagai minuman pahit. Saya berpikir, kenapa jamu tidak untuk kaum muda? Kenapa tidak dibikin lebih enak?” kata Ayu.
Kebetulan ibu dari Ayu, yaitu Retno Hernayani, sudah lebih dari 30 tahun bekerja di bagian riset dan pengembangan jamu Air Mancur. Sang ibu merancang resep yang terukur agar khasiat dan rasa enak minuman herbal itu bisa optimal. Sehat Lelaki, misalnya, diramu dari bahan herbal, seperti akar alang-alang, buah cabai jawa, rimpang jahe, biji kelabet, rimpang temu kunci, rimpang lengkuas, dan temu lawak.
Masih di Kota Solo, kita sambangi Akar Sari, toko herbal lawas yang sudah buka sejak 50 tahun lalu. Semerbak aroma herbal langsung menyergap indera penciuman begitu masuk ke toko di Jalan Mohamad Yamin itu. Di dalam toko terpasang kotak-kotak kayu berisi empon-empon atau beragam herbal yang dikeringkan. Tersebutlah antara lain kulit delima, kayu anyang, daun remujung, daun pecut kuda, daun pegagan, pala, dan puluhan jenis herbal lain.
Di deretan lain ada jahe, kapulaga, sidowayah, lempuyang, bratawali, dan banyak lagi. Itulah bahan-bahan alami yang bertahun-tahun dikonsumsi orang di negeri ini dan lebih dikenal sebagai jamu dan diyakini berkhasiat.
Di salah satu sudut toko terdapat meja panjang. Di atas meja terletak dispenser antik dari hahan logam. Dispenser itu berisi minuman gadhung crobo, obat herbal tradisional yang berkhasiat memperlancar peredaran darah. Duduk di sana, kita bisa memesan temu lawak atau beras kencur. Jika merasa terlalu pahit, kita bisa minta tombo semacam penyegar berupa kunyit asam yang manis-manis kecut segar.
Pinka dari Akar Sari terbiasa melayani pembeli dengan beragam keluhan kesehatan, mulai dari hipertensi hingga tumor. Dia sudah hafal beragam jenis racikan jamu lengkap dengan khasiatnya. Untuk hipertensi, misalnya, ia memberi ramuan andardi. Ia menyarankan jamu benalu teh sebagai pengobat tumor.
Tren gaya hidup
Produk herbal tradisional dengan kemasan modern, menurut Ketua Gabungan Pengusaha Jamu dan Obat Tradisional Indonesia Nyoto Wardoyo, makin digemari masyarakat modern. Konsumen perkotaan, misalnya, cenderung ingin mengonsumsi jamu dengan lebih praktis dalam kemasan kapsul ataupun tablet.
”Orang kota cenderung suka yang praktis. Mereka enggak mau repot-repot,” kata Mulyo Rahardjo, Managing Director Deltomed yang antara lain memproduksi Antangin.
Mulyo membuat produk yang berorientasi pada jamu modern. Bahan herbal ia proses menggunakan mesin ekstraksi modern dari Jerman untuk mengoptimalkan bahan-bahan aktif dari herbal, seperti jahe dan temu lawak. Mulyo melayani gaya hidup konsumennya dengan mengemas obat herbal secara lebih praktis, yaitu dalam bentuk tablet, kapsul, dan sirup. Bahkan, obat herbal untuk masuk angin pun ia memberinya rasa jahe mint dan jahe moka.
Dulu jamu dianggap sebagai ”ancaman” dan digunakan untuk menakut-takuti anak-anak. Sampai-sampai ada ucapan intimidatif, seperti, ”Awas, nanti dijamoni (diberi jamu) …. ” Dan jika anak-anak harus minum jamu, terpaksa dilakukan upaya paksa atau dicekoki. Kini mereka tidak perlu kena cekok. Deltomed, misalnya, membuat obat herbal untuk masuk angin khusus untuk anak-anak dengan rasa sirup.
Temu lawak yang dulu pahit kini dikemas sebagai sirup. Di Akar Sari, misalnya, tersedia Sirup Tradisional Temu Lawak dalam kemasan botol. Pada labelnya tertera komposisi berupa temu lawak, gula aren, dan madu.
Ada pula sirup kunir asem dikatakan membantu dalam meremajakan kulit dan melarutkan lemak, juga untuk melangsingkan tubuh hingga menghilangkan bau tak sedap. Sirup alang-alang untuk mencegah panas dalam, dan sirup belimbing wuluh sebagai antiradang.
Jamu gendong
Di tengah tren tersebut, jamu rebusan konvensional tetap memiliki tempat khusus di hati masyarakat. Coba kita masuk Pasar Nguter, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, yang merupakan pasar khusus bahan herbal. Di sana ada pedagang jamu gendong tetap kebanjiran pesanan, antara lain, Mbah Parinem (65) yang sudah berjualan jamu gendong sejak remaja telah memiliki konsumen fanatik.
Berjualan jamu gendong dari pukul 07.00 hingga 11.00, Parinem menghabiskan sepuluh botol jamu kunir asem, beras kencur, temu lawak, suruh, sambiloto, cabe puyang, godong kates, dan kepyukan.
Jamu cabe puyang paling digemari karena diyakini bisa menghilangkan rasa capek setelah bekerja keras seharian. Demi sajian jamu segar yang nikmat, Parinem sudah harus mulai meracik jamu dari pukul 04.00.
Satu gelas jamu gendong ini dijual seharga Rp 1.500. Jika badan tidak lelah, Parinem biasanya masih berkeliling jualan jamu gendong dari rumah ke rumah pada sore harinya, “Empon-empon-nya (aneka bahan herbal) saya ulek. Enggak pakai blender biar enak,” kata Parinem.
Jamu rebusan aneka empon-empon ini juga digemari tukang cap batik di pabrik batik Danar Hadi, Solo. Sambil terus bekerja, dan menikmati gending-gending Jawa, mereka memesan jamu rebusan dari bakul jamu di belakang pabrik. Dengan layanan pesan antar, si mbok jamu membagikan gelas-gelas berisi aneka ragam jamu, seperti cabe puyang dan beras kencur, kepada para pekerja. Kata mereka, jamu gendongan membuat kuat bekerja mengecap sepuluh lembar batik per orang dari pagi, hingga petang hari.
Jamu memang minuman rakyat. Sampai muncul lagu rakyat ”Suwe Ora Jamu” yang artinya sudah lama tidak minum jamu. Mungkin benar, banyak orang yang sudah lama lupa menjamu.
Sumber: Kompas