Nilai omzet penjualan jamu tahun 2011 melewati angka Rp 10 triliun atau naik sekitar Rp 1 triliun jika dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai lebih dari Rp 9 triliun. Di tahun 2012 nilai omzet jamu naik hingga 13 triliun dan di tahun berikutnya menjadi Rp 14,5 triliun. Angka ini diperkirakan akan terus naik sampai dengan 2015 nanti.
Dikutip dari Suara Pembaruan, menurut Presiden Direktur PT. Nyonya Meneer, Charles Saerang pertumbuhan terutama terjadi pada jamu modern berbentuk tablet dan cair. Beliau juga memaparkan, pada Maret 2012, telah tercatat 1.166 industri jamu dengan penyerapan tenaga kerja hingga tiga juta. Dari jumlah itu, 129 adalah industri skala besar dan sisanya 1.137 adalah skala UMKM dan rumah tangga.
Untuk skala besar, pengusaha masih mampu bertahan dengan inovasi, tetapi hal ini justru berbanding terbalik dengan skala rumah tangga yang jumlahnya terus menyusut, padahal jutaan orang sangat bergantung pada usaha ini.
Industri jamu skala rumah tangga rata-rata memiliki karyawan 50 orang. Salah satu faktor yang menyebabkan usaha jamu skala rumahan ini menyusut adalah karena kurangnya inovasi sehingga si pemilik tidak mampu bertahan dan lebih memilih untuk berdagang saja, Akibatnya banyak pekerja yang menganggur.
Kondisi pun kemudian dipersulit apabila ada kenaikan harga bahan baku dengan harga jual jamu yang tidak naik. Kondisi itu kemudian dimanfaatkan pengusaha lokal dan asing memasuki pasar dengan produk jamu berbahan kimia (essence) yang malah beresiko bagi kesehatan.
Selain modal, para pelaku industri jamu skala rumahan ini perlu dibekali dengan pelatihan agar memahami pola usaha obat-obatan alam ini. Komitmen dukungan dari pemerintah terhadap usaha jamu skala rumahan ini justru dinilai sangat penting agar makin banyak usaha jamu skala rumahan ini, sehingga masyarakat di Indonesia lebih mengenal jamu sebagai jati diri dan citra tradisional Indonesia.
Sumber