Kedaulatan Jamu

Sejak kembali ke Tanah Air dari perantauan ke mancanegara pada awal tahun 80-an abad XX, berulang kali saya menulis di berbagai media-massa dan berbicara di berbagai seminar nasional maupun internasional mengenai impian saya bahwa pada suatu hari jamu sebagai karsa dan karya peradaban dan kebudayaan Indonesia akan berdaulat sebagai tuan rumah di negeri sendiri.

Namun, tampaknya pemerintah mau pun masyarakat masa Orde Baru tidak terlalu peduli akibat tidak paham makna impian saya. Syukur Alhamdulillah setelah Orde Reformasi hadir di persada Nusantara, lambat namun pasti pemerintah dan masyarakat Indonesia mulai menyadari betapa penting pembangunan melalui jalur peradaban dan kebudayaan sebagai pendamping jalur ekonomi. Lambat namun pasti, pemerintah dan masyarakat Indonesia masa Reformasi mulai menyadari betapa penting sebenarnya kedaulatan jamu bukan sebagai satusatunya namun sebagai salah satu unsur pelayanan kesehatan nasional Indonesia. Bahkan 1 April 2015 , Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani dalam rangka mengembangkan jamu sebagai usaha rakyat berbasis kebudayaan telah resmi memproklamasikan Sukohardjo sebagai Kabupaten Jamu.

Wajar, perjuangan menegakkan pilar-pilar kedaulatan jamu di negeri sendiri menghadapi kendala seperti ketika Bung Karno dan Bung Hatta berjuang menegakkan pilar-pilar kedaulatan bangsa dan negara Indonesia juga menghadapi perlawanan. Bukan hanya dari kaum penjajah namun justru dari warga bangsa Indonesia sendiri yang sudah merasa nyaman dan mapan hidup di bawah penjajahan. Maka tidak heran apabila juga banyak yang mempertanyakan bahkan mencemooh impian saya tentang kedaulatan jamu akibat tidak mengerti maknanya. Kekeliruan paling keliru adalah menafsirkan impian kedaulatan jamu sebagai impian memfarmasikan jamu. Memang tidak banyak yang tahu bahwa di samping bakul jamu saya juga punya perusahaan farmasi. Dari pengalaman memimpin perusahaan farmasi dan perusahaan jamu, saya menyimpulkan bahwa pada hakikatnya jamu dan farmasi sama dengan minyak dan air maka sulit bahkan mustahil (kecuali dipaksakan) untuk menjadi satu menjadi suatu jenis zat baru tanpa mengorbankan salah satu atau bahkan kedua unsur beda sukma itu. Maka memfarmasikan jamu sama sekali bukan kehendak saya.

Secara kodrati memang segenap zat di alam semesta ini akan melakukan perlawanan terhadap masuknya benda asing. Maka dapat dimahfumi bahwa masuknya jamu ke ranah farmasi dan medik juga pasti menghadapi skeptisme dari para dokter, apoteker dan industri farmasi atas masuknya jamu sebagai benda asing ke dalam sistem pelayanan kesehatan nasional Indonesia yang sudah telanjur mapan dan nyaman di ranah farmasi dan medik. Bahkan, kedaulatan jamu juga ditentang oleh perusahaan jamu yang kebetulan berambisi masuk ke ranah farmasi sebab mengacaubalaukan konsep ambisi mereka.

Menyadari semua itu, maka saya tidak pernah setuju upaya apalagi perjuangan memfarmasikan jamu. Akibat de facto farmasi mendominir sistem pelayanan kesehatan nasional Indonesia maka malah bisa-bisa pasukan farmasi akan benar-benar konsekuen memfarmasikan jamu yang berarti sama saja dengan farmasi akan membinasakan jamu. Para pengusaha jamu yang ingin masuk ranah industri farmasi silakan –seperti saya– mendirikan perusahaan atau departemen farmasi demi memenuhi keinginan mereka.

Akan Diakui UNESCO

Sebuah perusahaan jamu menjadi besar justru karena memproduksi produk minuman kesehatan yang tidak tergolong jamu. Para importir obat tradisional bukan Indonesia juga tidak perlu cemas, sebab Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) cukup bijak untuk menyediakan jalur tersendiri bagi obat tradisional bukan Indonesia. Para dokter, apoteker sampai industri farmasi tidak perlu alergi kedaulatan jamu sebab jamu dan obat farmasi akan berjalan di jalur masing-masing tanpa saling mengganggu. Justru saling mengisi. Obat farmasi di jalur kuratif, jamu di jalur preventif dan promotif.

Insya Allah, United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) akan mengakui jamu sebagai warisan kebudayaan dunia seperti angklung, batik, keris, tenun, tari saman, dan lain-lainnya.

Namun sebelumnya, segenap warga bangsa Indonesia sendiri wajib bersatu-padu dalam sepakat memproklamirkan jamu sebagai warisan kebudayaan bangsa Indonesia seperti dahulu Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia tanpa menunggu pengakuan dari bangsa lain!

Saya sama sekali tidak menolak bahkan mendukung pendayagunaan unsur-unsur farmasi ke dalam jamu yang nyata positif dan konstruktif bagi kepentingan konsumen. Saya sangat setuju bahwa jamu mutlak harus memenuhi syarat-syarat uji toksikologis demi keamanan konsumen . Kemudian setelah berdaulat, jamu juga wajib mengisi kedaulatan dirinya dengan terus-menerus menyempurnakan diri dengan iptek sesuai tuntutan konsumen, membangun infrastruktur jamu seperti pendidikan penyehat dan peramu jamu, rumah sehat, litbang, sistem distribusi dan lain sebagainya agar jamu benar-benar mampu mempersembahkan karsa dan karya terbaik dirinya bagi negara dan bangsa Indonesia dan dunia.

Oleh: Jaya Suprana
Penulis adalah budayawan Indonesia yang telanjur cinta Indonesia

(Suara Pembaruan, Jumat 10 April 2015)

Komentar

%d bloggers like this: