Santhi Serad selalu punya perasaan dekat dengan Bandung. Bukan cuma karena ia lahir di Kota Kembang itu, melainkan lebih-lebih karena rumah keduanya, sebentang kebun bernama Bumi Herbal Dago, ada di situ. Di kebun seluas 8 hektar itu, bukit dan kabut seolah dua pasangan yang saling mengasihi….
Oleh: Putu Fajar Arcana
Kami tiba pagi hari. Bulir embun masih bergulir di atas dedaunan. Bukit Tunggul yang membentang dari timur ke utara merah oleh cahaya. Dari pendopo, tempat kami berdiri, tampak para petani sedang menyiangi rumput liar di antara tanaman kol dan sayuran. Selasa (13/5) pagi itu, Santhi bersama tiga rekannya, Rahung Nasution, Astrid Enrica, dan Adrian Mulya, bersiap-siap memasak dari bahan-bahan herbal di kebun. Setiap saat tuan rumah memang mengundang kawan-kawan dekatnya untuk berkunjung ke kebun yang berlokasi di Jalan Bukit Pakar Utara, Kampung Negla, Desa Ciburial, Kecamatan Cimenyan, Bandung.
Santhi tak hanya mengajak mereka berjalan-jalan di sekitar kebun yang memiliki lebih dari 400 jenis tanaman herbal, tetapi hampir selalu melakukan aktivitas yang berkaitan dengan tanaman. Dua hari pada pertengahan Mei ini, misalnya, ia merekam aktivitas dua chef handal Rahung dan Astrid memasak menu Aceh. Hampir seluruh kebutuhan memasak tersedia di kebun.
Bukan itu saja, kçbun herbal yang mulai ditanami sejak 8 tahun lalu itu juga menjadi ajang kreatif, seperti pelatihan menulis. Pada pertengahan Juni 2014 nanti, Santhi akan menggelar creative writing bagi siapa pun yang berminat. “Kita akan lakukan di pendopo. Mungkin jumlahnya maksimal 30 orang,” kata ahli pangan lulusan Curtin University of Technology Australia itu.
Di kebun dengan ketinggian 1.200-1.350 meter di atas permukaan laut ini, sepanjang hari cuaca selalu sejuk. Setiap saat, terutama senja hari, kabut berembus dari arah perbukitan lalu menyusup perlahan di sela pohon. Kadang tanpa terasa ia tiba-tiba berada di sekitar kita, seolah membawa isyarat gerimis yang bakal tiba. ”Suasana seperti ini mungkin cocok untuk pelatihan menulis,” kata Santhi. la kemudian mengajak kami menuju kebun rosela yang membentang di seberang jalanan kampung di barat pendopo. Kebetulan hari itu tepat ia akan memanen bunga-bunga rosela yang merekah merah. Dalam beberapa tahun terakhir produk olahan rosela mencuat di pasar herbal karena kandungan antosianinnya yang tinggi ”Antosianin berfungsi sebagai antioksidan dalam tubuh. Bisa berkhasiat menurunkan tekanan darah dan kadar kolesterol,” tutur Santhi.
Di kebun yang dikelola PT Ilthabi Sentra Herbal, di mana Santhi bermitra dengan Ilham Habibie itu, terdapat satu divisi pengolahan hasil kebun menjadi herbal simplisia, seperti rosela atau herbal food yang meliputi berbagai sirup tanaman herbal. “Inilah rumahku sesungguhnya,” kata Santhi.
Lokasi di mana kini Bumi Herbal Dago berdiri dahulunya bekas bebukitan yang ditanami tanaman sayuran oleh warga sekitar. ”Dulu ini bukit aja, cuma ada sayuran atau cabe,” kata Jujuk (40-an), petani yang kini menjadi bagian dari 25 karyawan di kebun milik Santhi.
Kunjungan
Santhi sendiri hampir setiap waktu melaju dari Jakarta menuju Bandung. Di kebun itu, ia suka mengenakan sepatu boots dan pakaian berkebun. Terkadang di jeda waktu menjenguk tanaman-tanaman langka yang ia kumpulkan dari berbagai penjuru Tanah Air, Santhi suka duduk di bangku kebun. Dengan latar barisan bukit, sambil menikmati secangkir teh herbal racikannya sendiri. ia suka membaca buku. “Kadang sampai lupa waktu, tahu-tahu sudah sore dan harus balik ke Jakarta,” tuturnya.
Bumi Herbal Dago dibuka sebagai kawasan heritage tanaman herbal. Di sini, kata Santhi, ditanam lebih dari 400 tanaman yang bisa difungsikan sebagai tanaman obat. “Kita banyak punya, tetapi tidak banyak dimanfaatkan,” tambah dia. Ia berharap dari kebunnya publik tahu secara kasat mata jenis pohonan yang bisa dimanfaatkan sebagai obat dan tersebar di seluruh kawasan Nusantara. ”Mungkin kumis kucing pernah dengar, tetapi banyak yang tidak tahu seperti apa pohonnya,” ujar penggemar fotografi ini.
Jakarta memang tempatnya bekerja dan berumah dalam pengertian fisik Akan tetapi, Bumi Herbal Dago memberinya jiwa. Setiap saat ada kunjungan, sedapat mungkin Santhi meluncur ke Bandung dan lalu super sibuk menerangkan pepohonan yang ia kumpulkan. “Dulu kantor ini pertama-tama dari tenda terpal aja…,” kata Santhi menunjuk bangunan yang kini jadi kantor. Selain kantor dan pendopo, di kebun ini terdapat beberapa lokasi untuk menampung aktivitas publik. Di tengah-tengah kebun, misalnya, dibangun jalan khusus buat aksi bersepeda. “Setiap hari libur banyak warga Bandung yang menjajal jalur sepeda di tengah kebun,” kata Santhi.
Di dataran sebuah lembah di dekat sungai kecil, Santhi membangun area perkemahan yang bisa dimanfaatkan oleh warga. “Juga ada kebun anak dan green house,” kata dia. Prinsipnya, segala fasilitas disiapkan untuk mendatangkan publik dengan sasaran utama pengenalan tanaman herbal. Buat Santhi, pengenalan itulah yang terpenting. Ia merasa kekayaan herbal Nusantara belum tergali secara maksimal. Padahal, Indonesia di masa lalu termasuk salah satu bangsa yang sudah mengenal pengobatan herbal. “Banyak dokumen tradisi yang mencatat tentang kemampuan bangsa kita meramu obat herbal,” ujar pendiri komunitas ACMI (Aku Cinta Masakan Indonesia) ini.
Di kebun herbal inilah Santhi seolah menemukan dirinya. Rumah, buatnya, tak harus berarti gedung, tetapi ruang tempat ia bisa membasuh kepenatan jiwa dan raganya. Dan, dari situ, ia merasa siap untuk menghadapi tumpukan pekerjaan di kantornya di kawasan Mega Kuningan, Jakarta.
Hari seperti berlari di celah bukit. Ada cuitan burung malam. Saatnya turun dan kembali ke Jakarta. Aroma segar tanaman herbal seperti melekat dalam ingatan. Rumah kebun yang asri dan memberi banyak arti.
(Dimuat di Kompas, Minggu, 25 Mei 2014)