Diperkirakan, hanya 1% masyarakat Indonesia yang mampu membayar obat untuk menyembuhkan sakit berat.
Karena tidak tahan lagi disiksa oleh batuknya, Heru akhirnya menuruti anjuran istrinya untuk berobat ke dokter. Berdua dengan sang istri, pasangan muda tersebut menyambangi salah satu rumah sakit (RS) swasta di bilangan Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.
Dokter spesialis mendiagnosis Heru mengidap infeksi radang tenggorok dan meresepkan obat. Sang dokter mengingatkan obat itu tidak bisa ditebus di apotek lain karena hanya tersedia di apotek RS.
Di apotek, Heru yang sejatinya sudah terkantuk-kantuk saat mengantre menjadi terbelalak matanya melihat estimasi biaya obat yang dituliskan oleh kasir pada secarik kertas.
“Total semuanya Rp 800 ribu,“ ujar petugas kasir dari balik kaca loket. “Kok, mahal banget?“ protes Heru.
“Harganya memang segitu,“ tandas petugas apotek. “Kan obatnya paten,“ sambung karyawan apotek lain.
“ Tidak ada generiknya Mbak?“ timpal istri Heru berharap. Dari balik kaca loket petugas hanya menggelengkan kepala. “Pesan dokter, obat tidak bisa diganti. Dokter juga memberi beberapa jenis vitamin,“ lanjut kasir sembari menunjuk tulisan di resep.
Lantaran tak punya pilihan lain, dengan terpaksa Heru membayar obat tersebut. “Duh Gusti, obat kok mahal banget, orang kecil memang tidak boleh sakit!“ keluh Heru.
Akses obat Heru bukanlah satu-satunya orang yang mengeluhkan mahalnya obat. Banyak orang lain berpengalaman serupa.
Itu menjadi ironi, sebab sejatinya obat merupakan bagian esensial bagi kehidupan manusia yang harus selalu tersedia dan bisa dikonsumsi oleh masyarakat yang sakit.
Menurut Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Universitas Indo nesia Hasbullah Thabrany, mahalnya harga obat di Indonesia sudah melampaui batas kemampuan ekonomi masyarakatnya. Kebijakan pemerintah untuk mengedarkan obat generik yang lebih murah daripada obat paten tampaknya tidak banyak membantu.
Karena, pada kenyataannya dokter lebih suka meresepkan obat paten.
Salah satu biang penyebab mahalnya harga obat adalah terlalu banyaknya perusahaan-perusahaan farmasi dalam negeri maupun PMA yang mendirikan perusahaan farmasi di Tanah Air. Akibatnya, perusahaan-perusahaan farmasi tersebut melakukan persaingan-persaingan yang tidak sehat.
Cara-cara promosi yang mereka lakukan sudah berlebihan. Mereka berlomba-lomba merayu dokter, rumah sakit, dan apotek agar obat-obat hasil produksinya menjadi acuan utama dalam pemberian obat kepada pasien.
“Di RS harga obat sangat bervariasi. Tidak ada standarnya.
Sudah jadi rahasia umum, banyak RS yang 50% pemasukannya dari berjualan obat,“ ungkap Hasbullah pada awal pekan ini, di Jakarta.
Ditambahkan, ada pandangan keliru di masyarakat yang beranggapan hanya orang miskin yang memiliki masalah akses obat. Sekadar ilustrasi, katanya, seorang perempuan penderita kanker payudara atau kanker indung telur harus mengonsumsi obat Docetaxel yang berharga jual sekitar Rp 7,3 juta per vial.
Pasien harus mengonsumsi dua kali sehari selama dua minggu. Maka, beban yang harus ditanggung minimal adalah 2 x 10 hari x Rp 7,3 juta. Hasilnya adalah Rp 146 juta. “Berapa banyak rakyat yang sanggup bayar segitu?“ tandasnya.
Dengan biaya sebesar itu, ditaksir hanya sekitar 1% masyarakat Indonesia yang mampu membayar obat guna proses penyembuhan penyakit berat. Ongkos tersebut umumnya baru berupa obat, belum termasuk biaya lain seperti biaya dokter, RS, dan laboratorium. “Lalu apakah pasien kanker lain harus dibiarkan mati saja tanpa diobati?“ Problem akses lainnya adalah obat-obat tersebut tidak tersedia di dekat rumah pasien.
Obat-obatan dan prosedur medis mahal hanya tersedia di kota besar. Untuk pasien-pasien di daerah, keadaan itu tentu menyulitkan.
Universal coverage Dalam konteks saat ini, hanya sekitar 40% penduduk yang memiliki jaminan pengobatan penyakit mahal (misalnya kanker, operasi jantung, operasi tulang). Untuk mengatasi hal itu, lanjut Hasbullah, tidak ada jalan lain pemerintah harus menyiapkan sistem jaminan kesehatan sosial yang bersifat menyeluruh bagi seluruh rakyat (universal coverage).
Cita-cita sistem asuransi kesehatan sosial yang bersifat universal sejatinya sudah diamanatkan oleh UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Namun, Hasbullah memperkirakan amanat SJSN tampaknya baru terealisasi 5-10 tahun lagi. Selama masa transisi ini, hendaknya pemerintah dan perusahaan farmasi harus bisa menemukan solusi untuk menekan harga obat.
Saat ini, apa boleh buat. Untuk mencari obat yang murah, masyarakat terpaksa mencari obat alternatif tradisional yang belum terbukti khasiatnya secara medis.
(Cornelius Eko Susanto – Media Indonesia)