Di wilayah tropis seperti Indonesia, penyakit malaria masih menjadi momok, mematikan, dan sulit diberantas. Ketergantungan terhadap kina dalam dunia medis dan timbulnya vektor malaria (nyamuk Anopheles), yang resisten terhadap insektisida dan parasit plasmodium yang di beberapa negara resisten terhadap klorokuin, menggugah Dhina Fitriastuti, Imelda Octa Tampubolon, dan Putri Ernia Wati di Jurusan Kimia Fakultas MIPA Universitas Gadjah Mada meneliti minyak daun cengkih sebagai antimalaria.
Pemilihan daun cengkih karena bahan dasarnya melimpah di Tanah Air dan berdasarkan teori, daun tersebut mengandung eugenol yang bisa dimodifikasi menjadi senyawa antimalaria. Penelitian itu bertujuan mencari senyawa baru yang bisa dijadikan obat malaria.
Sudah sejak lama minyak cengkih digunakan untuk pengobatan gigi dan bahan anestesi gigi, tetapi tidak untuk antimalaria. Di benak mereka kemudian tebersit ide untuk membuat senyawa antimalaria dari minyak cengkih.
Untuk mendapatkan minyak daun cengkih, daun harus dikeringkan terlebih dahulu dan disuling sehingga senyawa murni berupa eugenol didapatkan.
“Komponen yang paling dominan sekitar 90% dari minyak cengkih adalah eugenol. Struktur senyawa tersebut dapat dimodifikasi menjadi antimalaria,“ jelas Dhina di Gedung Pusat UGM, belum lama ini.
Dijelaskan, tahap sintesis dilakukan dengan mengubah veratraldehida menjadi veratril alkohol dengan cara digerus dalam mortar dan pestle menggunakan reduktor NaBH4.
Setelah menyintesis senyawa yang diduga memiliki antivitas sebagai antimalaria, uji aktivitas untuk membuktikan dugaan tersebut dilakukan. Uji aktivitas dilakukan dengan menggunakan metode uji aktivitas penghambatan polimerisasi hem.
Di sisi lain, untuk melihat kemampuan senyawa sebagai antimalaria, imbuh Dhina, itu diperlihatkan dari nilai IC50, yang berarti konsentrasi yang dibutuhkan senyawa untuk menghambat 50% pertumbuhan sel. Semakin kecil konsentrasi yang dibutuhkan, semakin baik pula aktivitas senyawa tersebut sebagai antimalaria.
“Hasilnya, senyawa (1)-N(3,4-dimetoksibenzil)-1, 10fenantrolinium bromida memiliki nilai IC50 yang lebih kecil dari klorokuin,“ terangnya.
Itu berarti senyawa hasil sintesis minyak cengkih memiliki aktivitas antimalaria yang lebih baik daripada klorokuin. Klorokuin merupakan obat pilihan untuk pengobatan malaria non-falciparum dan falciparum yang sensitif. Klorokuin hanya efektif terhadap parasit dalam fase eritrosit, tetapi tidak untuk parasit yang ada di jaringan.
Senyawa yang ada pada minyak daun cengkih tersebut bisa mematikan plasmodium sehingga penderita malaria akan berangsur sembuh.
Nilai lebih
Penelitian tahap sintesis dilakukan di Laboratorium Kimia Organik Jurusan Kimia FMIPA dan tahap uji aktivitas antimalaria di Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedok teran UGM cukup melegakan.
Dengan menghabiskan dana hanya sekitar Rp10 juta, senyawa yang dihasilkan dinilai memiliki kelebihan karena mengandung gugus metoksi (0CH3) yang akan menambah sifat nonpolar. “Senyawa kami lebih aktif karena membuatnya lebih mudah masuk ke membran di eritrosit (sel darah merah),“ ungkap Dhina.
Hasil penelitian yang dimulai pada awal Februari hingga pertengahan Mei 2012 tersebut diharapkan bisa digunakan secara luas oleh masyarakat. Namun, untuk dijadikan obat antimalaria, itu masih memerlukan waktu karena perlu penelitian lanjut dan berjenjang.
Sebelum menjadi obat yang aman digunakan ke manusia, hasil penelitian (senyawa tersebut) biasanya masih membutuhkan beberapa uji laboratorium yang cukup panjang.
Sintesis senyawa tersebut menurut rencana akan diuji in vivo terhadap binatang. Setelah itu, uji toksisitas untuk mengetahui kandungan racun dalam senyawa ketika berada di dalam tubuh.
Setelah itu, mekanisme aksi senyawa perlu diuji. “Tujuannya agar kita bisa mengetahui cara kita memasukkan obat tersebut ke tubuh,“ papar Dhina. (AT/M-1)
Sumber: Media Indonesia