Jamu tidak hanya menyehatkan, tetapi juga menghidupi rakyat. Tidak main-main, omzet bisnis jamu herbal di negeri ini mencapai Rp 13 triliun per tahun. Pabrik jamu, petani jahe, temu lawak, sampai simbok-simbok penjual jamu gendong ikut kecipratan rezeki.
Patung ibu penjual jamu gendong menyambut kita ketika memasuki kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Ia seperti mengucapkan sugeng rawuh, selamat datang ke negeri jamu.
Dan benar. coba masuk ke Pasar Nguter, Sukoharjo, yang merupakan pasar khusus jamu. Di sana bahan herbal, bahan jamu, godhogan (rebusan), dan produk jamu kelas besar hingga skala rumahan menyesaki kios-kios yang tak pernah sepi pembeli, Jamu gendong tentu saja tersedia dan siap diminum segar-segar.
Melihat merek-merek jamu dan nama kios jamu di Pasar Nguter, kita seperti berkelana ke jagat pewayangan. Tersebutlah antara lain jamu cap Puntodewo, Gatutkoco, Werkudoro, Wisanggeni, Narodo, dan ada pula jamu Sabdo Palon. Tak kurang dari 60 merek jamu lokal hadir di Pasar Nguter.
Jamu dikemas dengan gaya memikat. Kemasan jamu Arum Dalu bikinan perusahaan Jamu Gatotkaca, misalnya, tampil dengan gambar gadis muda tersenyum manis. Dalam bungkusnya tertera khasiat menaikkan performa wanita dan bisa menambah keharmonisan suami istri.
Dengan gimmick serupa ditawarkan pula jamu Kuat Lelaki cap Macan. Gambarnya adalah cowok kekar dalam pelukan gadis plus macan tutul melompat garang.
Yang ingin tubuh singset, tersedia jamu Slimming Bodipas. Konsumen anak-anak pun terlayani. Misalnya jamu Sabdo Kido yang dalam bungkusnya disebut bisa menambah nafsu makan dan meningkatkan daya tahan. Anak-anak tidak perlu dicekoki jamu karena jamu ini disajikan dalam rasa beragam, seperti anggur, stroberi, jeruk, dan melon.
Produk herbal berupa jamu memang meriah. Ketua Dewan Pimpinan Daerah Gabungan Pengusaha Jamu dan Obat Tradisional Indonesia Jawa Tengah Nyoto Wardoyo (54) mencatat lebih dari 1.150 industri jamu tersebat di Indonesia. Dari jumlah itu hanya 100 perusahaan yang tergolong industri besar. Mayoritas perusahaan jamu berlokasi di Jawa Tengah. Kebayakan dari perusahaan jamu ini justru industri rumah tangga.
“Industri jamu terus berkembang dengan potensi yang besar. Harus higienis dan dibungkus ilmu pemasaran yang baik,” kata Nyoto yang juga menjabat Presiden Direktur Deltomed Laboratories.
Dokter jamu
Riuhnya produk herbal di Pasar Nguter menjadi salah satu indikator bahwa jamu memang dibutuhkan rakyat jauh sebelum munculnya tren obat alami. Selain di Pasar Nguter, ada pula Pasar Gedhe Hardjonagoro di Solo yang menyediakan satu blok khusus untuk bahan herbal-yang dalam bahasa lokal disebut empon-empon.
Seiring maraknya gaya hidup kembali ke alam, produk herbal, termasuk jamu dan obat herbal, diburu masyarakat. Data survei Riset Kesehatan Dasar Tahun 2007 menunjukkan besarnya potensi jamu. Sebanyak 60 persen masyarakat Indonesia sudah pernah mengonsumsi jamu dengan 90 persen sudah pernah merasakan khasiat jamu.
Gairah masyarakat untuk sehat dengan kekayaan herbal juga tampak di Klinik Saintifikasi Jamu Hortus Medicus, Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Klinik milik Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT) ini hanya menyediakan resep dokter berupa jamu. Ruang klinik pun disebut Griya Jamu.
Pasien di Klinik Hortus Medica berdatangan dari penjuru Tanah Air dan bahkan dari Malaysia. Setiap hari klinik yang terletak di lereng Gunung Lawu ini rata-rata didatangi 150 pasien. Slamet Harsono (57), asal Solo, lebih mantap mengonsumsi jamu untuk obat hipertensi daripada obat yang mengandung bahan kimia. Lain lagi dengan Sumardi (58) yang datang dari Pati demi mengobati sakit ambeien.
Setelah menjalani pemeriksaan oleh dokter, pasien pulang dengan membawa bungkusan besar berisi obat herbal dalam wujud racikan rebusan jamu atau tablet. “Kami fokus pada program saintifikasi jamu, penelitian berbasis pelayanan. Kami ingin mengangkat martabat jamu,” kata dokter Danang Ardiyanto dari B2P2TOOT.
“Lewat saintifikasi jamu, jamu bisa naik kelas karena peneliti mampu memberikan bukti ilmiah atau evidence based medicine untuk membuktikan bahwa jamu aman, berkhasiat, dan bermutu,” kata Slamet Wahyono, Kepala Bidang Pelayanan Penelitian B2P2TOOT. Dikatakan Slamet, saat ini sudah ada dua ramuan jamu yang sudah tersaintifikasi, yaitu obat hipertensi dan asam urat.
Jahe petani
Ramainya gerakan orang kembali ke produk herbal meneteskan rezeki bagi Paidi (60), petani jahe dari Desa Pucung, Kismantoro, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Di tengah alam berbukti hijau nan indah, Paidi menanam aneka empon-empon, seperti jahe emprit (Zingiberis rhizoma) dan temu lawak.
Paidi, yang berdagang kambing sejak tahun 1969 itu, kepincut menanam empon-empon sejak 1994. Kami menyambangi kakek tiga cucu ini di ladangnya. Ia mengenakan sandal Lily, sandal vintage yang “bergengsi” pada awal 1970-an. Ia menyibak rerumputan yang baru saja basah oleh hujan. Paidi menunjukkan ladang jahe siap panen miliknya.
Senyum tersungging di wajah Paidi ketika bercerita tentang harga jahe emprit yang cukup baik, berkisar Rp 10.000-Rp 12.000 per kilogram. Bandingkan dengan harga padi gogo merah yang paling “hanya” laku Rp 4.000 per kilogram.
Paidi menyediakan 10 hektar ladangnya untuk penanaman empon-empon dengan total produksi 50 ton per tahun. Dari ladang jahenya, Paidi bisa meneteskan rezeki kepada Rami (33) yang bekerja sebagai buruh tani di ladang Paidi. “Lebih senang menanam jahe, pasarnya sudah ada,” kata Rami.
Bertanam empon-empon menjadi semakin menggiurkan karena tanaman ini tidak manja. Pemberian pupuk dan pestisida kimia pun diatur agar tidak berlebihan sesuai standar ketat yang diminta perusahaan obat herbal. Produsen penghasil obat tradisional Deltomed Laboratories di Wonogiri, misalnya, menerapkan standar tinggi untuk kualitas bahan baku. Empon-empon dari petani antara lain harus sudah dalam kondisi kering dengan kadar air 10-12 persen. Untuk jahe saja, perusahaan farmasi nasional berbasis herbal itu membutuhkan 900 ton basah per tahun.
Aneka empon-empon itu lantas diolah dengan mesin berteknologi jerman, Quadra Extraction System, yang mengedepankan higienitas. Proses ekstraksi hingga pengemasan pun dilakukan dengan mesin tanpa proses manual. Dengan mesin modern tersebut, kualitas ekstrak jamu bisa lebih terukur. Bahan aktif dalam empon-empon dijaga agar tidak rusak dengan suhu pemanasan di bawah 60 derajat celcius pada tekanan tinggi. Keseluruhan proses ekstraksi yang dahulu harus direbus selama dua hari kini bisa dipangkas menjadi empat jam.
Jahe yang ditanam Paidi itu, antara lain, digunakan untuk tablet herbal guna mengobati masuk angin. Penyakit paling “populer” di masyarakat yang di-wes..ewes..ewes dengan obat herbal alias jamu. Bablas angine…
Sumber: Kompas