Dokter perlu menguasai pengetahuan tentang obat herbal. Tujuannya agar mampu mengedukasi pasien agar penggunaan obat herbal tidak menimbulkan efek negatif.
Menurut Arijanto Jonosewojo, Kepala Poliklinik Komplementer Alternatif RSU dr Soetomo Surabaya, dokter tidak dapat melarang pasien menggunakan obat herbal sebagai pengobatan komplementer. Dalam hal ini, edukasi dari dokter penting karena manfaat obat herbal bergantung pada kondisi pasien serta obat konvensional yang dikonsumsi.
”Jangan sampai kombinasi obat utama dengan obat pelengkap memberi efek samping,” kata Arijanto dalam temu pers Simposium SOHO Global Health Natural Wellness, di Jakarta, Sabtu (5/4).
Ia memberikan contoh, penderita penyakit jantung yang diberi obat mengandung nitrat tidak boleh diberi ginseng sebagai obat komplementer. Hal itu berisiko meningkatkan serangan jantung.
Dokter wajib menginformasikan kepada pasien tentang obat herbal yang boleh dan tidak boleh dikonsumsi, termasuk melarang penggunaan obat herbal yang belum diuji klinis.
Pengobatan komplementer adalah pengobatan yang menggabungkan pengobatan modern dengan nonkonvensional. Selain jamu dan herbal, pengobatan komplementer lain adalah akupuntur, pijat, dan hipnoterapi.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan 2010, 59,12 persen penduduk Indonesia mengonsumsi obat herbal. Masyarakat menilai obat herbal lebih aman daripada obat konvensional.
Menurut Arijanto, ada sejumlah hal yang harus diperhatikan agar khasiat, kualitas, dan keamanan obat herbal terjaga. Hal itu adalah ketepatan penggunaan, jenis obat, dosis, cara pemberian, kewaspadaan terhadap efek samping, dan kepastian obat sudah melewati uji klinis.
Agus Purwadianto, staf ahli Menteri Kesehatan bidang Teknologi Kesehatan dan Globalisasi, mengatakan, hasil Riskesdas menunjukkan kepercayaan masyarakat terkait obat herbal. ”Yang diperlukan sekarang mencari bukti-bukti ilmiah khasiat obat herbal,” ujar Agus.
Saat ini, baru 38 jenis obat herbal terstandar dan enam jenis fitofarmaka (teruji praklinis dan klinis pada manusia) yang bisa dijadikan resep oleh dokter. Menurut Agus, di luar jumlah obat terstandar dan fitofarmaka itu, tak kurang dari 100 simplisia (bahan alami yang dikeringkan untuk pengobatan dan belum diolah).
Menurut Agus, banyak jenis obat alami yang baru diuji secara in vitro (diuji melalui penelitian dalam tabung uji) dan bukan in vivo (diuji langsung ke manusia). ”Padahal, dengan uji in vivo, para ahli bisa langsung melihat kesesuaian efek dan khasiat obat tersebut,” kata Agus. (A01)
Sumber: Kompas