Hampir sehari penuh Sanggul Subur (15) meringkuk di atas dipan beralas kulit kayu. Badan remaja itu meriang. Suaranya parau akibat batuknya yang basah.
Tak tega melihat anak ke-enamnya tak berdaya, Tumenggung Nggrip segera berangkat ke Dipupuy. Tujuannya mencari obat. Dipupuy bukan nama apotek, melainkan sebuah bukit. Di Bukit Dipupuy, menurut pemimpin kelompok orang Rimba itu, akar tanaman pun bisa menjadi obat. Dari pondoknya di dalam rimba Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD), Kabupaten Sarolangun, Jambi, jarak ke puncak Dipupuy sekitar 1,5 kilometer. Medannya terjal mendaki. Akar malang melintang.
Langkah Nggrip terhenti setiap menemukan tanaman yang dicari. Ia mengumpulkan akar pasak bumi (Eurycoma longifolia) dan daun tobu pungguk (Costus speciosus) yang berkhasiat menurunkan demam. Untuk meredakan batuk, ia memetik daun seledemo dan capo (Blumea balsamifera). Dia juga mengambil pejan dan kulin untuk beraga-jaga jika ada anggota keluarganya yang sakit perut.
Lewat tengah hari, Nggrip kembali ke pondok. Ternyata, anaknya yang lain, Bepuncak (6), juga agak demam. Dia ber- gegas meramu obat. Daun tobu pungguk ditumbuk sampai halus lalu dicampur air. Obat racikannya selesai tak lebih dari lima menit. Nggrip berdoa lalu menggosokkan ramuan itu di dahi kedua anaknya. Terakhir, ia menempelkan ampas ramuan di dahi mereka dengan bantuan selembar kain panjang. “Supayo domom (demam) dan sakit kepalo cepat sembuh,” katanya. Untuk Sanggul yang tengah batuk, Nggrip meminumkan air rebusan pucuk daun capo pula.
Sumber daya hutan
Di dalam TNBD yang terhampar di wilayah Kabupaten Batanghari. Sarolangun, Tebo, dan Merangin, seluas 61.500 hektar, Orang Rimba memanfaatkan sumber daya hutan, tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan dan papan. Isi hutan dimanfaatkan pula sebagai obat-obatan. Pengetahuan manfaat obat tradisional diturunkan dari generasi ke generasi.
Orang Rimba punya daftar obat yang panjang. Bahan bakunya bukan hanya tanaman, melainkan juga satwa liar, dari trenggiling landak, tupai, hingga beruang. “Hewan-hewan obat” dianggp jauh lebih mujarab sehingga diyakini sebagai dewo (dewa). Selain ada dewo gajoh dan dewo macan, kata Ngrip, ada juga dewo (obat) trengiling.
Dua pekan sebelumnya, Nggrip yang memimpin kelompok Orang Rimba di wilayah Kedundung Mudo memburu seekor beruang. Sisa kulitnya masih tertancap di atas perapian di bawah pondok. Kulit beruang diyakini mujarab untuk obat hati atau nyeri. Caranya cukup digosokkan di dada.
Empedu beruang digunakan untuk mengobati kerabatnya yang lumpuh. “Namun, dewo jarang digunakan. Kalau sakitnya parah bae (saja),” ujarnya.
Baru-baru ini, khasiat empedu sang dewo terungkap. Penelitian Imperial College, London, Inggris, tahun 2011, mengungkap kandungan zat asam ursodeoxycholic di empedu beruang dapat mengobati sakit jantung termasuk mengatasi detak jantung tak normal pada janin.
Senyawanya dipakai untuk mengurangi produksi kolesterol hingga menghancurkan batu empedu. “Temuan ini menarik,” kata Dr Julia Gorelik, anggota Tim Peneliti Senior, sebagaimana dilansir BBC 2 Agustus 2011.
Ratusan jenis
Jauh sebelumnya, 16 tahun lalu tim gabungan dari Departemen Kesehatan, Institut Pertanian Bogor, Universitas Indonesia, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi tertarik akan keragaman obat rimba. Tim ini menjelajahi Taman Nasional Bukit Tigapuluh yang dihuni suku Talang Mamak dan Melayu Tua, serta TNBD tempat hunian Orang Rimba, untuk menginventarisasi pengetahuan obat-obatan mereka. Hasilnya mengejutan.
Laporan itu menyebutkan, di TNBD dikenal setidaknya 137 jenis obat untuk penyakit yang umum diderita Orang Rimba, mulai dari 19 penyakit kulit, 20 masalah pencernaan, 12 penyakit dalam, dan berbagai jenis penyakit lain. Obat-obatan itu terdiri dari 101 jenis tanaman untuk mengobati 54 jenis penyakit, 27 jenis cendawan obat untuk 24 penyakit, dan 9 jenis satwa untuk 54 jenis penyakit.
Bahan-bahan itu diolah dengan cara sederhana. Ada yang direbus lalu airnya diminum, dibakar, dilayukan di atas perapian, atau digiling lalu digosokkan ke bagian yang sakit.
Koleksi cendawan obat dapat mengobati 24 macam penyakit, mulai dari penyakit kulit, saluran pencernaan, kepala, luka, mata, hingga penyakit dalam. Satwa di TNBD tercatat bisa mengobati 11 macam penyakit, mulai dari empedu beruang untuk mengobati campak dan diare berdarah hingga empedu landak untuk menawar racun.
Terancam punah
Namun, Nggrip kini cemas. Pengetahuan meramu obat itu terancam punah. Anak muda di sukunya mulai tak peduli seiring kian terjangkaunya layanan kesehatan umum bagi warga pedalaman sejak lima tahun lalu.
Orang Rimba di bagian terluar taman nasional kini cenderung berobat ke puskesmas karena praktis dan gratis. Tidak repot mencari obat ke tengah hutan.
Antropolog dari KKI Warsi, Robert Aritonang, mengatakan, kearifan lokal dalam pengobatan terancam oleh masifnya pembukaan hutan di penyangga TNBD. Sejak tahun 1982, sebagian hunian Orang Rimba berubah menjadi kawasan transmigrasi dan jalan raya lintas Sumatera, yang membentang sepanjang 350 kilometer dari perbatasan Jambi-Sumatera Selatan hingga Jambi-Sumatera Barat. TNBD pun menyusut dari 130.308 hektar menjadi 60.483 hektar.
Sumber: Kompas