Lasmi Membesarkan Generasi Jamu Gendong

Demi keberlangsungan jamu, Lasmi (44) menyadari bahwa perajin jamu membutuhkan regenerasi. Untuk membangun penerus, bukan hal mudah. Ia pun berusaha meluaskan jaringan agar tidak hanya keluarganya yang tertarik, tetapi kenalan dan anak-anak mereka juga tertarik membuat jamu.

”Jamu jadi salah satu kekuatan, kekayaan budaya bangsa. Oleh karena itu, keahlian membuatnya harus terus ditularkan, diwariskan,” ujarnya.

Dengan keyakinannya itu, Lasmi menggandeng, mengumpulkan banyak orang untuk bergabung, belajar mengolah, dan menjadi produsen jamu. Kini, dengan segala upaya yang dilakukan selama tiga tahun terakhir, dia telah memiliki ratusan ”anak didik” yang menjadi produsen jamu baru di sejumlah daerah di seluruh Indonesia.

”Beberapa dari mereka yang telah saya dampingi akhirnya berhasil menjadi penyedia jamu untuk tamu-tamu hotel,” ujarnya bangga.

Dengan pencapaiannya tersebut, dia pun bertekad untuk terus melanggengkan keahlian membuat jamu dengan melibatkan orang lain, terutama generasi muda.

Generasi ketiga

Lasmi merupakan generasi ketiga pembuat jamu. Ibu dan neneknya juga berprofesi sebagai pengolah jamu sekaligus sebagai tukang jamu gendong.

Sejak kecil, dia terbiasa membantu ibunya meracik jamu. Dari pengalaman inilah dia hafal betul dengan semua aneka resep jamu tradisional berikut setiap aroma khasnya.

Tahun 1986, setelah menikah, ia ikut suami ke Surabaya. Ketika itu, Lasmi baru berusia 16 tahun. Di Surabaya, ia pun sempat berusaha menjadi pembuat jamu.

Sayang, usaha jamu yang dijalaninya selama lima tahun di kota tersebut tidak sukses. Selain banyak pesaing, di Surabaya dia kecewa karena usaha jamu tidak menjadi perhatian dan tidak dibina oleh pemerintah daerah setempat. Dia pun makin sedih karena rekan-rekannya sesama tukang jamu gendong hanya sibuk dengan pekerjaannya masing-masing dan tidak mau berkumpul untuk bersama-sama mengembangkan ilmu tentang jamu dan usaha.

Lasmi yang patah arang memutuskan pulang kampung ke Sukoharjo. Namun, sekitar tahun 1993, atas saran salah seorang kerabat, dia pun pindah ke Jakarta. Di sana, dia kembali memulai usaha jamu dari nol. Dia memulainya dengan membuat jamu dan menjajakannya keliling kampung sebagai tukang jamu gendong.

Tahun 2010, dia iseng ikut audisi pemilihan ratu jamu gendong yang diselenggarakan salah satu perusahaan jamu asal Semarang. Tak dinyana, dia berhasil meraih gelar juara ratu jamu gendong teladan. Hadiah yang diperoleh digunakan untuk mengembangkan usaha, termasuk untuk membeli sepeda yang kemudian digunakan untuk berjualan jamu.

Untuk mengembangkan usahanya, Lasmi pun terus berupaya mendekati para pejabat di kantor pemerintahan, mulai dari kelurahan hingga kementerian. Dengan cara ini, dia berupaya mencari pelanggan baru, mencari lokasi yang tepat untuk mangkal dan berjualan jamu, serta membina relasi agar nantinya dia dapat diikutsertakan dalam pelatihan atau seminar untuk pelaku usaha kecil dan menengah (UKM).

Selain itu, Lasmi juga terus berinovasi. Ia membuat resep-resep jamu baru agar pembeli tidak bosan. Inovasi yang dilakukan antara lain dengan mencampurkan ramuan jamu dengan aneka buah-buahan. Saat ini, dia sudah membuat enam jenis resep baru, antara lain sanafis, singkatan dari sawi, nanas, dan jeruk nipis, serta juniper, jeruk nipis peras.

Seiring waktu, Lasmi yang semula mengerjakan segala sesuatunya sendiri mulai memiliki lima karyawan. Bahkan, pada saat-saat tertentu ketika ada pameran, dia bisa mengerahkan 30 tenaga tambahan dari rekan-rekannya sesama pembuat jamu.

Kini, dia memiliki satu outlet jamu di Jakarta, yang sudah dikelola putrinya. Sejak lima tahun lalu, semua produk yang dia hasilkan juga sudah berlabel sebagai produk industri rumah tangga.

Pembicara

Setelah merasa cukup mapan membangun usaha sendiri, Lasmi merasa tiba gilirannya untuk berbagi ilmu. Dimulai sejak tiga tahun lalu, dia merealisasikan keinginannya tersebut dengan berupaya menyebarkan keahlian membuat jamu dan meregenerasi tukang jamu gendong.

Dia melakukan pendekatan ke rekan-rekannya, meminta agar anak-anak mereka, keponakan, atau kerabat yang lain mau belajar dan menekuni usaha pembuatan jamu.

”Saya menekankan kepada mereka bahwa industri jamu tidak boleh punah,” ujarnya.

Pada tahap awal, mereka yang berminat menjadi penjual jamu memulainya dengan menjual jamu produksi Lasmi sebanyak 10-15 botol per hari. Di sela-sela berjualan, mereka juga diajari membuat jamu sendiri.

Untuk mendukung keterampilan mereka, terutama dalam hal pemasaran, anak-anak didik ini diajaknya ikut dalam berbagai seminar dan workshop dengan biaya dari Lasmi. Proses pembelajaran dan pendampingan ini biasanya berlangsung enam hingga tujuh bulan.

Di luar itu, Lasmi pun mencoba menularkan keahlian membuat jamu sekaligus mempromosikan usaha seluk-beluk industri jamu. Ia mulai menjadi pembicara dalam berbagai acara talkshow dan seminar di sejumlah daerah.

”Belakangan, dalam banyak acara, saya juga diundang untuk menjadi motivator untuk para pelaku UKM,” ujarnya.

Keterlibatan Lasmi dalam berbagai acara ini berawal dari undangan dari dinas pemerintah. Lambat laun, namanya mulai dikenal. Lasmi pun semakin banyak diundang oleh berbagai pihak dan lembaga dari sejumlah daerah di seluruh Indonesia. Di luar Jawa, dia pernah menjadi pembicara di Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, hingga daerah pedalaman di Timor Leste.

Pihak pengundang pun berasal dari berbagai kalangan, mulai dari kelompok tani, pelaku UKM, hingga kalangan akademisi. Dia pernah memberikan materi tentang jamu di sejumlah perguruan tinggi negeri, seperti Universitas Indonesia (UI), Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Universitas Trisakti.

”Dalam acara tersebut, rektor UI dan ITB bahkan juga datang, menonton, dan mendengarkan saya menyampaikan materi,” ujarnya bangga.

Saat meminta Lasmi menjadi pembicara, banyak pengundang yang akan langsung bertanya soal besaran honor. Namun, Lasmi biasanya langsung mengatakan bahwa masalah itu sepenuhnya diserahkan kepada pengundang.

”Bagi saya, yang penting untuk diketahui saat menjadi pembicara di daerah adalah potensi, tanaman apa di sana yang cocok untuk diolah menjadi jamu, dan bukan semata-mata karena masalah uang,” ujarnya.

Dengan begitu, semakin banyak daerah yang didatangi, Lasmi mengaku, dirinya semakin banyak belajar. Keterampilannya untuk mengolah beragam tanaman menjadi jamu dan obat tradisional pun semakin bertambah karena potensi tanaman yang ada di setiap daerah yang dikunjungi juga berbeda-beda.

Terakhir, awal Desember lalu, dia mendapat undangan untuk mempromosikan jamu berikut cara pembuatannya di Kedutaan Besar Indonesia di Singapura.

Jamu asli

Sejak kecil, Lasmi terbiasa meracik sendiri jamu dari bahan-bahan alami. Kebiasaan inilah yang kemudian ditularkan kepada anak didik ataupun dalam berbagai seminar.

”Zaman sekarang, banyak bahan alami yang sudah dijual dalam bentuk bubuk siap pakai. Namun, saya selalu menyarankan agar setiap orang selalu mengolah sendiri mulai dari bentuk aslinya karena yang sudah berbentuk bubuk belum tentu asli dan tanpa campuran,” ujarnya.

Menerjuni profesi penjual jamu, diakui Lasmi, memang tak mudah. Apalagi, tantangan di lapangan amat banyak, seperti pandangan buruk, digoda, dilecehkan dan mendapat ejekan. Namun, dia mengingatkan bahwa untuk sukses, kita tidak boleh mudah menyerah.

Kompas, 31 Januari 2014

 

Komentar

%d bloggers like this: