Santhi Serad: Herbal-Kuliner Sekali Jalan

Ribuan tanaman herbal yang tidak terdokumentasi dan tidak pula dibudidayakan.

Bagai ilmuwan sedang membuat percobaan. Santhi memotong lembar-lembar daun jati belanda itu, memasak, dan membumbuinya. “Saya coba membuat tempura,” kata perempuan berkulit putih ini mengenang upayanya, beberapa tahun silam.

Daun jati belanda dibuat tempura adalah ide yang aneh. Meski tak masuk dalam kamus daun bertekstur kasar itu jadi masakan, tapi Santhi Serad mencobanya. Berhasilkah dia? “Tidak,” katanya.

Dari uji cobanya itu, ia menemukan daun jati belanda saat agak panas jadi berlendir. Tambahan lagi, serat daun yang kasar membuat tanaman ini bakal tidak populer masuk ke kancah kuliner. “Terlalu kesat, nggak enak,” komentarnya. “Memang untuk mencoba-coba itu membutuhkan kreativitas.”

Selama ini, tanaman obat-obatan hanya dibuat semacam jamu. Santhi ingin agar tanaman-tanaman itu dinikmati langsung dalam bentuk makanan. Tak hanya sekali wanita yang banyak bergelut di bidang herbal dan kuliner itu mengadakan uji coba.

Di antara yang berhasil adalah daun pohpohan yang masuk ‘lalapan sunda’. Daun yang bermanfaat untuk kesehatan tubuh dari nyeri otot tulang, osteoporosis, penurunan kekebalan tubuh, penurunan daya ingat, dan gangguan dalam jantung itu ternyata nikmat dibuat sup krim.

Hampir sebagian besar kegiatan Santhi Serad berhubungan dengan tanaman herbal dan kuliner. Santhi bersama Ilham Habibie, putra sulung mantan presiden BJ Habibie, membangun sebuah kebun Bumi Herbal di kawasan Dago, Bandung, pada 2006.

Empat dari tujuh hektar keseluruhan tanah yang menghadap Kota Bandung itu telah ditanami 400 jenis tanaman herbal. Ia mengakum masih banyak lagi tanaman yang belum masuk atau tak bisa masuk koleksi mereka. “Misalnya tanaman buah merah dari Papua, tidak bisa ditanam di tempat kami,” ujar presiden direktur PT Ilthabi Sentra Herbal itu.

Santhi menyinggung kekagumannya pada keanekaragaman hayati Indonesia yang tinggi. “Dari 10 negara, Indonesia yang kedua setelah Brasil,” kata dia.

Dalam keanekaragaman hayati itu, banyak di dalamnya merupakan tanaman obat yang belum termanfaatkan. Hutan Kalimantan ada 4.000-an tanaman obat yang  belum dibudidayakan. Belum lagi bila ditambah dengan daerah-daerah lain.

Selama ini, ungkap Santhi, kebun tanaman obat biasanya dimiliki oleh perusahaan besar farmasi kimia. Sementara, ia dalam mengembangkan tanaman obat bertujuan untuk menularkan ilmu, informasi yang benar dan ilmiah.

Agar informasi dapat dipertanggungjawabkan, tanaman-tanaman dari berbagai daerah itu dideterminasi oleh Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB. Para ahli mencocokkan nama populer tanaman, nama bahasa Inggris, dengan nama latinnya.

Ia mencontohkan saat menambah koleksi dengan tanaman lavender yang dibeli di pedagang bunga. namun, diteliti para ahli, ternyata bukan lavender. “Ternyata, tanaman liar,” ungkat istri Wisnu Kusuma Wardhana itu. “Karenanya, kebun kami untuk eduherba, edukasi herbal.”

Kebun di kawasan tinggi itu menerima kunjungan anak-anak sekolah hingga orang dewasa. Di sana, mereka akan terjun langsung belajar mengenali tanaman-tanaman serta manfaatnya. Lebih jauh lagi, koleksi tanaman herbal yang dimulainya dari nol itu sudah menjadi tempat belajar mahasiswa yang ingin melakukan penelitian.

Di kebun itu pun mereka menikmati santapan dari tanaman yang jarang diperoleh di kota-kota besar. Kebun herbal yang diwujudkannya bersama Ilham Habibie juga menghasilkan produk herbal kering dan resep-resep masakan herbal. “Ada tempat coba-coba membuat masakan di sana,: ucap wanita penggemar fotografi ini.

Jika sudah mengetahui manfaat dan cara penggunaan herbal, ia berharap masyarakat bisa memanfaatkkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Minat sejak kecil

Seminggu sekali, Santhi bertolak dari Jakarta menengok kebun Bumi Herbal Dago di Bandung. Di sana, dia bertemu dengan para staf dan petaninya.

Herbal bukan dunia baru bagi Santhi. Si bungsu dari tiga bersaudara ini sudah mengenal jamu herbal sejak belia. Setelah mendapat haid pertama, sang ibu, Hertuti, memperkenalkannya dengan jamu-jamu perawatan tubuh untuk wanita. Sementara, semangat meneliti dan melakukan uji coba agaknya diperoleh dari sang ayah.

Ayahnya, Suwarno M. Serad, seorang dosen ilmu kimia di Institut Teknologi Bandung (ITB). Saat masih kanak-kanak, Santhi kerap menyaksikan laboratorium kerjanya ketika diajak menjemput sang ayah.

Setelah mengalami masa kanak-kanak di Bandung, perempuan keturunan Pasuruan-Banyuwangi ini kemudian mengikuti orang tuanya yang pindah ke Semarang. Di kota itu, ia tumbuh dewasa dan menempuh kuliah di Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro. Di sana, Santhi mempelajari nutrisi pakan ternak. Ia melakukan penelitian tentang sapi. “Saya melihat umuru sapi lewat giginya, membuka mulut sapi, dan melihat semua isinya,” kenang dia. Sejak saat itu, saya nggak doyan lagi makan lidah sapi.”

Kuliah Santhi berlanjut ke Universitas Curtin di Perth, Australia. Di sana, ia belajar food scientific technology. Yakni, tentang proses pengolahan makanan yang sehat dari bahan mentah, penyimpanan, pengolahan, hingga pengemasan.

Pulang dari Negeri Kangguru, Santhi memulai kariernya dengan bekerja di litbang Yuppie, perusahaan permen kenyal. “Di sana, saya mengurusi 3.000 karyawan dalam tiga shift,” tutur perempuan kelahiran Bandung, 14 September 1972 itu.

Ia bertugas meramu rasa, bentuk, warna, dan kekenyalan permen anak-anak itu. Bekerja di pabrik itu, Santhi belajar banyak hal. Mulai dari food safety, produksi makanan, hingga kebersihan makanan.

Lalu, pertemuannya dengan Ilham Habibie membawa perjalanannya memasuki belantara herbal. Suatu perjalanan yang membuat ia terkenal di dunia herbal.

Menolak punahnya masakan tradisional

Dunia herbal hanyalah satu sisi dari kehidupan Santhi. Profesi lainnya adalah di bidang food science and technology sebagai external food hygiene auditor pada sebuah perusahaan swasta.

Sebuah profesi yang cocok dengan kegemarannya, mempelajari asal-usul suatu jenis makanan dan sejarahnya. Ia mencermati kenyataan keanekaragaman masakan masyarakat Indoensia tradisional diwariskan orang tua di rumah banyak yang tidak tercata dengan baik. “Lama-lama bisa punah,” ujarnya muram.

Santhi mengetuai gerakan Aku Cinta Masakan Indonesia (ACMI) yang didirikannya bersama pakar kuliner William Wongso dan Bondan Winarno pada 2012. Dengan menyandang kamera Leica-nya, Santhi bersama kawan-kawan menjelajahi Nusantara, mendokumentasikan serta menyebarluaskan kekayaan budaya kuliner tradisional Indonesia.

Bersama ACMI, ia mendorong agar resep masakan tradisional masuk ke dalam kurikulum sekolah kejuruan. “Agar SMK diajarkan 10-20 masakan Indonesia,” katanya.

Santhi juga menjadi salah satu anggota kelompok kerja Kementerian Pariwisata. Kami menerbitkan buku 30 Ikon Kuliner Tradisional Indonesia,” katanya.

Lebih besar lagi, bersama rekan-rekan seide ia berbagi harapan. Suatu saat, dalam jamuan kenegaraan pemerintah makanan tradisional Indonesia naik ke meja makan para kepala negara.

Oleh: Nina Chairani
Suplemen REPUBLIKA, Selasa, 12 Mei 2015

Komentar

%d bloggers like this: